Pages

Friday, May 3, 2019

"Ohana", Pak Prabowo? Halaman all - KOMPAS.com

OHANA, means family!” Kutipan dari film animasi Lilo & Stitch yang diproduksi tahun 2002 oleh Walt Disney Feature Animation mungkin menjadi pertanyaan paling krusial bagi Calon Presiden Prabowo Subianto pada pekan ini.

Keluarga, menjadi hal paling penting ketika angka demi angka berubah seiring "real count" Pilpres 2019 yang dapat dilihat secara langsung melalui Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU.

Hasilnya? Jika masih mempercayai sistem penyelenggara kompetisi politik di Indonesia, silahkan Anda cek sendiri.

Keluarga bagi Pak Prabowo saat ini lebih penting dibandingkan sikap partai-partai koalisi pendukungnya yang secara dramaturgi Erving Goffman mempertunjukan interaksi simbolik bergesernya dukungan para pemimpin mitra koalisi politik Gerindra.

Baca juga: BPN Prabowo-Sandi Laporkan KPU dan Lembaga Survei ke Bawaslu

Tanpa malu-malu, sejumlah pemimpin partai-partai mitra koalisi yang rupanya juga memantau hitung cepat (quick count), meski dinafikan kesahihannya oleh Prabowo, melihat hasil positif dari Pemilu 2019 yakni lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Interaksi simbolik sejumlah elite mitra koalisi Gerindra yang rapuh sejatinya sudah dipertunjukkan sebelum gelaran Pemilu 2019. Mulai dari sikap mempertunjukan dukungan kepada Capres Joko Widodo, ada pula yang berposisi sebagai mitra namun secara struktural memilih membebaskan kader maupun simpatisannya untuk netral.

Dalam kondisi saat ini hanya keluarga besar Raden Mas Sumitro Djojohadikusumo yang dapat diandalkan Prabowo Subianto. Serupa ketika titik terendah harus dialami keluarga ini pada akhir 1950-an dan akhir 1990-an.

Jurnalis senior Aristides Katoppo dalam biografi Sumitro, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000) dan Mochtar Lubis (Catatan Subversif) menulis pada akhir 1950-an, Pak Sumitro dan keluarga diburu rezim saat itu.

Nama besar Margono Djojohadikusumo, bapak koperasi bersama Muhammad Hatta, sekaligus pendiri Bank BNI 1946 seolah tak berbekas. Keluarga Sumitro hidup berpindah negara demi menghindari penangkapan.

Baca juga: Relawan Prabowo-Sandi Rahasiakan Lokasi Tim IT yang Pantau Kesalahan Situng KPU

Masa-masa kepahitan tersebut tentu menciptakan ikatan yang kuat dalam keluarga tersebut, bahkan ketika masa panen tiba: Pak Mitro menjadi aliansi kekuatan Orde Baru di bidang ekonomi. Posisi yang tidak bisa dibantah adalah jalan terang dan lapang bagi keluarga Pak Sumitro.

Namun kepahitan kedua rupanya hadir seiring tumbangnya besan Pak Sumitro, sekaligus mertua Prabowo Subianto. Ekonomi terpuruk ke titik nadir.

Rakyat yang marah butuh individu-individu yang menjadi sasaran. Resep ngawur International Monetary Fund (IMF) memperunyam kondisi Indonesia.

Mantu Pak Sumitro, Joseph Sudrajat Djiwandono sebagai Gubernur Bank Indonesia ada di titik terpanas. Demikian juga Prabowo Subianto yang dijerat tuduhan pelanggaran HAM.

Ini masih ditambah krisis ekonomi yang membuat bisnis putra bungsu Pak Sumitro, Hashim Djojohadikusumo, terpuruk.

Untuk kali kedua keluarga besar Pak Sumitro mengalami kepahitan. Luar biasanya, keluarga besar tersebut tetap saling mendukung dan terhubung, bahkan ketika Hashim Djojohadikusumo berada di balik bui Salemba pada 2002 untuk tuduhan yang diada-adakan.


Partai keluarga

Pasca-gagalnya Prabowo bertarung dalam konvensi Partai Golkar tahun 2004, keluarga Pak Soemitro pun membentuk Partai Gerindra menjelang Pemilu 2009.

Melihat struktur pengurus Partai Gerindra, jelas ini adalah partai keluarga serupa partai-partai lain di Indonesia.

Dinasti politik yang ditunjukkan Partai Gerindra bukanlah sesuatu yang buruk. Amerika Serikat pernah memiliki dinasti Kennedy maupun Bush. Sementara di Indonesia pun memiliki Partai Demokrat dan PDI Perjuangan.

Dengan jargon berdikari dan kerakyatan, sejarah mencatat Prabowo berhasil menarik simpati pemilih. Sayang ketika beraliansi dengan pemimpin PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dan gagal mengalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Meski gagal pada Pilpres 2009, aliansi Gerindra-PDI Perjuangan sukses dengan mengantarkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi Pilgub DKI 2012.

Sayang aliansi ini pecah jelang Pemilu 2014, Joko Widodo dan PDI Perjuangan berbalik bertarung melawan Prabowo dan Gerindra.

Pil pahit kembali hadir ketika pasangan Prabowo dan besan Susilo Bambang Yudhoyono, Hatta Rajasa kalah pada Pemilu 2014.

Kekalahan yang sejatinya sudah terlihat dari tipisnya deferensiasi jargon politik yang ditempuh kedua kontestan dalam Pemilu 2014, terlihat dari tipisnya perolehan suara akhir.

Kekalahan kali kedua yang rupanya diakui atau tidak telah mengubah pola komunikasi politik Prabowo selama lima tahun terakhir.

Jika pada awal kemunculannya Prabowo dan Partai Gerindra mencitrakan diri sebagai partai nasionalis dengan visi kerakyatan dan kemandirian (partai tengah), menjelang Pilgub DKI 2017 justru larut dalam citra superioritas agama (partai kanan).

Perubahan pola tersebut memang terbukti berhasil dengan kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan terus dilanjutkan secara sadar menuju Pemilu 2019. Sayang, keluarga Prabowo tidak bisa memungkiri konsep diri yang telah terbentuk di keluarga mereka.

Meminjam konsep diri (The Self) George Herbert Mead, yang merupakn inspirator bagi Erving Goffman, maka sangat terlihat bagaimana Prabowo Subianto yang dibesarkan dalam keluarga yang plural dan terbuka menjadi terbata-bata menyesuaikan diri dengan konsep komunikasi politik saat ini.

Sayangnya, ketidaknyamanan seorang Prabowo kerap secara tidak sadar dipertontonkan dan oleh kemajuan teknologi komunikasi yang semakin instan begitu mudah viral.

Tanpa proses saring layaknya media massa, publik dengan mudah melakukan justifikasi terhadap apa yang terjadi berdasarkan kesadaran yang mereka miliki masing-masing.

Hal serupa juga terjadi dalam beberapa kali pidato kemenangan hasil hitung cepat Pilpres 2019 yang dilakukan Prabowo Subianto, yang ironisnya justru berbuah surutnya langkah dukungan mitra koalisi Gerindra.

Alih-alih mendapat dukungan elit PAN, PKS, dan Demokrat, sosok yang masih berada di garda terdepan adalah Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo yang tak lain adik Prabowo.

Pekan ini, seiring angka-angka suara yang berubah seiring "real count" Pilpres 2019 menjadi pertanyaan sangat penting: kemana suara keluarga besar Prabowo Subianto ketika mitra koalisi Gerindra satu per satu mundur teratur?

Let's block ads! (Why?)

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/03/18071491/ohana-pak-prabowo?page=allhttps://desimpul.blogspot.com/2019/05/ohana-pak-prabowo-halaman-all-kompascom.html

No comments:

Post a Comment