Pages

Friday, March 8, 2019

Cara Kotor Digunakan Pemukim Israel untuk Rampas Rumah Palestina - Mata Mata Politik

Para pemukim Israel menggunakan cara-cara kotor untuk merampas rumah warga Palestina. Mereka memaksa dan mengancam warga Palestina untuk menyerahkan rumah mereka, hingga melakukan penipuan dengan menggunakan dokumen palsu untuk mengklaim rumah-rumah tersebut. Ketika mereka menginginkan sesuatu, mereka akan melakukan segala cara—legal dan ilegal—untuk mengambil tanah dari orang Palestina.

Oleh: Akram Al-Waara (Middle East Eye)

Bekas-bekas memar di mata yang menghitam masih terlihat di wajah Abdel Qader Abu Srour, saat ia minum obat dengan kopi paginya.

Ayah dua anak ini lelah. Setelah empat hari ditahan, ia baru saja dibebaskan dari penjara Israel.

“Mereka menahan saya di sel isolasi selama dua hari pertama, di sel beku tanpa selimut, tidak ada minuman panas, dan tidak ada perawatan medis,” katanya kepada Middle East Eye.

Abu Srour (27 tahun) ditangkap pada tanggal 7 Februari 2019, setelah dipukuli dengan kejam oleh tentara Israel di luar rumah keluarganya di distrik Hebron, Tepi Barat yang diduduki. Mereka mengawal sekelompok pemukim Israel yang mengklaim rumah Abu Srour sebagai rumah mereka.

“Salah satu pemukim—pemimpin kelompok itu—mengatakan bahwa rumah kami adalah milik mereka dan kami harus pergi,” kata Abu Srour, yang menceritakan bahwa lebih dari sepuluh tentara dan tiga tentara bersenjata lengkap telah tiba di rumahnya.

“Ketika saya mengatakan kepadanya bahwa rumah ini adalah milik kami dan kami memiliki surat-surat untuk membuktikannya, dia mulai mengancam saya, mengatakan bahwa kami memiliki 10 hari untuk meninggalkan rumah dan jika kami tidak melakukannya, dia akan menghancurkannya ketika kami masih di dalam.”

“Lebih dari lima tentara memukul, menendang saya, dan memukul saya dengan senapan mereka, sementara para pemukim terus menyoraki untuk menyemangati mereka,” katanya.

Para prajurit juga melemparkan bom suara dan tabung gas air mata pada ibunya dan menembakkan semprotan merica ke arahnya pada jarak dekat.

“Semua ini karena para pemukim menyuruh mereka melakukannya,” katanya. “Mereka menginginkan rumah kami, jadi sekarang mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.”

Menara militer permanen di luar kamp Al-Arroub, hanya beberapa meter dari rumah keluarga Abu Srour. (Foto: MEE/Akram al-Wa’ara)

Kesepakatan Terselubung

Keluarga Abu Srour sekarang terjebak dalam perselisihan yang mereka khawatirkan tak bisa mereka menangkan, meskipun memiliki surat-surat yang membuktikan kepemilikan rumah mereka. Kasus mereka adalah salah satu dari banyak kasus di mana pemukim dan organisasi Israel secara salah mempertaruhkan klaim mereka atas properti—dan menggunakan dokumen palsu, dukungan negara, dan intimidasi untuk memastikan agar mereka berhasil.

Bukti keberhasilan upaya semacam itu dapat ditemukan hanya beberapa meter dari rumah keluarga Abu Srour, di mana Beit al-Baraka—bekas gereja—sekarang berdiri.

Kompleks gereja itu pernah berfungsi sebagai rumah sakit TBC. Tiga tahun lalu, itu menjadi bagian dari blok permukiman Israel terdekat, Gush Etzion.

Ada beberapa langkah agar kompleks tersebut dipindahkan ke tangan pemukim. Pemilik pertamanya, sebuah kelompok gereja Presbyterian, jatuh ke dalam kesulitan keuangan dan menjualnya pada tahun 2010 ke sebuah perusahaan Swedia bernama Scandinavian Seamen Holy Land Enterprises.

Perusahaan itu mengklaim berencana untuk mengembalikan gereja itu ke operasi semula. Tetapi, tanpa diketahui oleh penjual, orang di belakang perusahaan yang baru didirikan tersebut adalah seorang Kristen Norwegia dengan nama Gro Faye-Hansen Wenske—seorang pendukung permukiman Israel.

Sisa-sisa bom suara yang diledakkan oleh tentara di depan rumah Abu Srour. (Foto: MEE/Akram al-Waara)

Ketika perusahaan Seamen Holy Land Enterprises mengumumkan akan gulung tikar pada tahun 2012, properti itu dijual kepada organisasi Amerika yang dikendalikan oleh pengusaha Amerika Serikat (AS) yang pro-pemukim Irving Moskowitz. Pada 2016, kompleks itu secara resmi terdaftar sebagai bagian dari blok permukiman Israel, Gush Etzion.

Rumah Abu Srour dibangun oleh para misionaris yang sama yang membangun kompleks tersebut, dan merupakan rumah bagi kepala rumah sakit. Walau keluarga Abu Srour membeli rumah itu pada tahun 1990—dan memiliki dokumen-dokumen Palestina, Israel, dan Amerika untuk membuktikannya—namun mereka sekarang takut bahwa para pemukim dapat menggunakan metode terselubung atau bahkan pemalsuan untuk mengklaim rumah tersebut, sama seperti mereka “menipu” untuk mendapatkan Beit Baraka tahun lalu.

Para pemukim yang mengklaim rumah keluarga Abu Srour belum menunjukkan dokumen yang mendukung klaim mereka.

Perusahaan Palsu, Dokumen Palsu

Intimidasi, dokumen palsu, dan metode terselubung adalah praktik standar dalam transaksi tanah di wilayah pendudukan, menurut laporan dalam beberapa tahun terakhir. Penyelidikan tahun 2016 oleh media Israel Channel 10, menemukan bahwa 14 dari 15 akuisisi tanah dari Palestina oleh perusahaan Amana pro-pemukim dilakukan melalui pemalsuan.

Sebuah penyelidikan oleh Haaretz yang menindaklanjuti investigasi tersebut, merinci proses yang digunakan perusahaan pemukim untuk memperoleh tanah.

Setiap kali negara berusaha untuk mengevakuasi pos-pos ilegal di daerah Ramallah, perwakilan dari Al-Watan—sebuah perusahaan yang dijalankan oleh aktivis pro-pemukiman Ze’ev Hever dan dimiliki oleh Amana—akan mengumumkan bahwa mereka telah membeli tanah lokal dari pemilik Palestina.

Faktanya, warga Palestina yang bertindak atas nama Al-Watan telah menggunakan dokumen palsu, mengklaim sebagai pemilik tanah asli, dan membeli properti, kemudian memindahkannya ke Amana, Haaretz melaporkan. Hever adalah seorang terpidana teroris.

Abdel Rahman Saleh (71 tahun) mantan wali kota desa Ramallah di daerah Silwad, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa perusahaan seperti Al-Watan dan Holy Land Company—yang ia anggap sebagai perusahaan palsu yang dijalankan oleh warga Palestina, Yordania, dan Israel—membayar hingga 60.000 Dinar Yordania (sekitar Rp1,2 miliar) untuk setiap dunam tanah, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar sekitar 2.000 Dinar (sekitar Rp40 juta).

“Perusahaan-perusahaan ini membantah telah membeli properti untuk para pemukim, tetapi mereka memiliki sejarah pembelian tanah di Yerusalem Timur melalui cara yang sama,” katanya.

Menurut Saleh, organisasi pemukim tersebut bekerja sama dengan Shin Bet Israel untuk memalsukan dokumen yang digunakan dalam pembelian tanah.

“Para pemukim menghadap intelijen Israel, yang membantu mereka mengumpulkan data tentang tanah, pemiliknya, nomor ID mereka, perincian untuk perbuatan,” kata Saleh. “Jadi mereka mengambil semua detail ini dan membuat dokumen palsu menggunakan informasi kami agar terlihat seolah-olah kami menjual tanah kepada mereka.”

Saleh memiliki pengalaman puluhan tahun dalam berurusan dengan pemukim Israel dan pembelian tanah palsu. Selama masa jabatannya sebagai Wali Kota Silwad, ia melakukan perlawanan hukum yang panjang atas nama penduduk yang tanahnya dibeli menggunakan dokumen palsu, dan dipindahkan ke pemukim dari pos Amona yang ilegal.

“Pada tahun 1996, melalui perusahaan Holy Land, pemukim dari Amona menggunakan dokumen palsu untuk menyita lebih dari 2.000 dunam tanah yang dimiliki secara pribadi oleh penduduk Silwad, Ein Yabrud, dan Taybeh,” kata Saleh. “Kami mengajukan kasus di pengadilan, dan akhirnya pada tahun 2014, negara memutuskan untuk mengusir para pemukim dengan dasar bahwa dokumen itu dipalsukan.”

Yesh Din—sebuah LSM Israel yang membantu warga Silwad dalam perlawanan hukum mereka—mengatakan bahwa di balik konstruksi ilegal Amona, terdapat “seluruh mekanisme yang didedikasikan untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka, dengan bantuan dewan lokal, organisasi Amana, IDF, Yesha Council, Settlement Division, politisi, dan kementerian pemerintah.”

Pada tahun 2017, Amona dievakuasi, yang merupakan “kemenangan besar bagi Silwad dan desa-desa sekitarnya, yang juga mendapatkan sebagian tanah mereka kembali,” kata Saleh.

Perwakilan Amana dan Al-Watan tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Perlawanan yang Sedang Berlangsung

Walau evakuasi Amona adalah kemenangan yang tidak biasa, namun perlawanan masih jauh dari selesai.

Pada bulan Desember 2018, para pemukim kembali ke tanah bekas pos terdepan mereka dan mendirikan dua rumah cetakan, dan mengklaim bahwa mereka baru saja membeli tanah tersebut dari pemiliknya di Palestina.

Haaretz melaporkan bahwa Administrasi Sipil Israel belum memeriksa dugaan bukti pembelian sebelum rumah-rumah itu didirikan, dan satu sumber mengatakan bahwa pemerintah bahkan belum mengkonfirmasi bahwa banyak rumah yang dibangun itu sama dengan yang seharusnya dibeli.

Tetap saja, orang-orang Palestina yang memiliki tanah terus dicegah untuk mengolahnya dan—selain memperjuangkan akses ke sana—juga menghadapi kecurigaan dari komunitas mereka atas klaim Israel atas tanah mereka.

“Kasus-kasus ini menyebabkan begitu banyak perselisihan dalam masyarakat, karena orang-orang mulai meragukan tetangga mereka dan bertanya-tanya: ‘Apakah mereka benar-benar menjual tanah mereka, menjual tanah air kami, kepada para pemukim?'” kata Saleh.

“Butuh bertahun-tahun, puluhan tahun seperti yang Anda lihat, untuk meluruskannya. Dan sementara itu, orang-orang dapat dikucilkan dan diasingkan jika masyarakat berpikir bahwa mereka menjual tanah mereka kepada orang Israel.”

‘Mereka memiliki seluruh sistem yang menguntungkan mereka’

Tepat di selatan Gush Etzion, Abu Srour dan keluarganya takut mereka bisa menghadapi perlawanan berlarut-larut yang sama untuk tetap tinggal di tanah mereka. Walau para pemukim dan tentara sekarang menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk mempertaruhkan klaim mereka, namun ia khawatir bahwa metode terselubung dan penipuan yang digunakan untuk membeli properti lain dapat dimanfaatkan untuk mengambil alih rumahnya.

“Kami tahu bahwa kami sangat teliti dalam pembelian rumah ini, dan memastikan bahwa tidak ada celah untuk hal seperti ini terjadi,” katanya.

“Tapi ini adalah para pemukim. Mereka memiliki tentara pendudukan, pengadilan, dan politisi di pihak mereka. Mereka memiliki seluruh sistem yang menguntungkan mereka.”

Abu Srour dan kedua putranya (Foto: MEE/Akram al-Waara)

Lima bulan sebelum para pemukim tiba dengan tentara pada bulan Februari, dia mengatakan bahwa pria yang dia anggap sebagai kepala kelompok pemukim—yang dia pikir adalah mantan perwira intelijen—memanggilnya untuk mengatakan bahwa dia ingin membeli rumahnya.

Dia mengatakan akan membayar apa pun untuk itu. Abu Srour menolak tawaran itu.

“Ada kekhawatiran pada saat itu bahwa jika para pemukim berhasil menggunakan tipuan untuk membeli Beit al-Baraka, mereka dapat memalsukan beberapa dokumen dan mencoba untuk mengklaim rumah kami bersama dengan itu,” kata Abu Srour.

“Ketika mereka menginginkan sesuatu, mereka akan melakukan segala cara—legal dan ilegal—untuk mengambil tanah dari orang Palestina.”

Keterangan foto utama: Dua anak laki-laki Abu Srour bermain di depan rumah keluarga mereka, di mana pemukim Israel menyerang ayah mereka beberapa hari sebelumnya. (Foto: MEE/Akram al-Waara)

Cara Kotor Digunakan Pemukim Israel untuk Rampas Rumah Palestina

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/in-depth-cara-kotor-digunakan-pemukim-israel-untuk-rampas-rumah-palestina/https://desimpul.blogspot.com/2019/03/cara-kotor-digunakan-pemukim-israel.html

No comments:

Post a Comment